Selasa, 03 Januari 2012

DUA KSATRIA, DUA POHON KEMATIAN


  Pringgitan adalah tempat dua pohon sawo kecik saling berhadapan. Konon Usia dua pohon sawo itu sudah ratusan tahun. Rindang dua pohon itu memendam puluhan nyawa ksatria. Dua pohon yang sangat asri ini berjuluk pohon kematian. Julukan yang bertentangan dengan wujud aslinya.
Dewi Sekar Kinanthi memilih berada di pohon sisi barat. Wajah cantiknya tampak tenang tampak siap menyambut pertempuran sampai mati. Maharani Puspitandaru sudah mengikat perutnya dengan selendang birunya berada di kerindangan pohon sawo sisi timur.
“Maharani, Aku tidak suka melihat ksatria yang tidak sesuai antara hati dan perkataannya. Aku duduk di tahta bukanlah kemauanku tetapi karena ayahanda dan kakanda sedang tidak ada. Semua orang sudah setuju untuk mematuhi semua perintahku. Termasuk dirimu. Yang aku perangi adalah sikapmu yang tidak ksatria”
“Hamba mohon maaf mahadewi, perintah dari raja bagi ksatria adalah perintah, itu benar. Tetapi sebuah perintah pengiriman pasukan masih kewenangan Maharaja Kaweningan. Demikian pesan dari Panglima Panahaning Bumi. Dan hamba harus menjaga perintah panglima.”
Maharani berkata dengan tegas. Ketegasan prinsip yang membuat Mahadewi terdiam. Dia tampak ragu dengan perkataan Maharani yang terhitung sangat senior dibanding dirinya. Walaupun sekarang dia adalah penguasa puncak, hati kecilnya sangat menghormati Maharani.
“Karena kita berdua sudah di bawah pohon kematian, tidak ada yang bisa mencegah. Salah satu dari kita harus ada yang mati. Majulah Dewi  Sekar Kinanthi”
Kata-kata Maharani sangat tegas. Dengan menyebut mahadewi dengan namanya langsung, maharani ingin menghapus keraguan Dewi sekar Kinanthi. Keraguan yang tidak boleh ada dalam dada ksatria. Dewi Sekar Kinanthi tersenyum dan langsung mengangkat tangan kanannya lurus ke atas sementara tangan kirinya lurus menghadap ke bawah. Semua ksatria tercekat, itu adalah persiapan jurus kembang Selatan. Dengan tubuh yang lurus, jurus ini ingin menjadi tangkai dari semua kembang. Sebagai pusat aliran tenaga dari daun menuju akar ataupun akar menuju daun. Maharani sangat paham akan kedahsyatan jurus ini. jurus yang dapat mengeluarkan berbagai tenaga yang tidak terduga. Dia pun langsung melepas selendangnya. Selendang itu langsung mengitari tubuhnya. Maharani memilih diam menunggu. Begawan Pusparatri dan begawan Tirto Geni tampak tenang menunggu dua muridnya beradu ilmu. Tidak nampak kekhawatiran sedikitpun.
Tiba-tiba tubuh Mahadewi melayang menerjang ke arah Maharani. Dengan posisi yang masih lurus namun kaki kanannya menekuk, tubuh mahadewi sangat terbuka untuk di serang. Maharani dengan cepat memasang kuda-kuda ke samping. Itulah Perisai Bumi. Maharani memilih untuk bertahan karena pertahanan terbuka mahadewi adalah sebuah jebakan. Jurus kembang selatan adalah jurus yang tidak mudah di tebak. Para ksatria memuji maharani sekaligus tercekat membayangkan apa yang akan terjadi. Di awal-awal pertempuran Maharani sudah mengeluarkan perisai bumi, jurus pertahanan puncak para ksatria. Tangan kanan Mahadewi yang lurus mengayun ke arah depan seperti membelah sesuatu di sambut selendang susuh angin yang melesat lepas dari tubuh maharani, desiran angin langsung menerpa wajah para ksatria yang menonton saat tangan kanan mahadewi beradu dengan selendang. Selendang susuh angin berkelebat seperti naga kembali pada maharani sementara mahadewi terus menerjang, kali ini tangan kirinya mengayun dari bawah ke atas, maharani menyorongkan dua tangannya menyambut serangan itu. Duarrr! Ledakan besar terjadi saat kibasan jurus kembang selatan menerjang pertahanan perisai bumi. Selanjutnya tanpa jeda mahadewi menyusulnya dengan pukulan kanan kiri dengan cepat. Beberapa kilatan cahaya menerjang tubuh maharani. Maharani hanya menggerakkan dua tangan seperti menari menepis kilatan cahaya. Para ksatria terperangah, mahadewi mengeluarkan naga halilintar, jurus penyerangan puncak negeri selatan. Walaupun naga halilintar dalam sebuah situasi hanya akan menghasilkan satu kilatan yang disusul halilintar namun kali ini para ksatria disuguhi bagaimana naga halilintar terpecah-pecah. Maharani yang sudah memasang perisai bumi tampak kerepotan dengan serangan naga halilintar yang terpecah dalam bentuk kecil-kecil namun sangat cepat dan tidak memberi kesempatan untuk menyerang.
Begawan Tirto Geni dan Begawan Pusparatri tampak menghela nafas. Tidak heran dua begawan ini menghela nafas. Perpaduan dua jurus antara kembang selatan dan naga halilintar diperagakan dengan baik oleh mahadewi namun dalam hal memadukan dua jurus, jurus lambaran atau jurus dasar harus menjadi pengatur dan itu tidak terjadi pada mahadewi. Jurus kembang selatan tiba-tiba bercampur dan menjadi Naga halilintar. Arus Tenaga jurus kembang selatan adalah arus bolak-balik, kasar menjadi halus dan halus menjadi kasar. Sementara Naga Halilintar adalah jurus naga yang searah. Maharani yang sudah sangat matang dalam penguasaan tenaga juga menyadari hal ini. Maharani tersenyum, dia merasa bisa memastikan akhir pertempuran ini. Segera setelah itu dua putaran tangannya menyapu pukulan yang datang bertubi-tubi, susuh angin melesat keluar dari kepungan dan menyerang mahadewi dari belakang. Mahadewi memutar tubuhnya dan merentangkan kedua tangannya. Tangan kiri menyambut selendang susuh angin dan tangan kanan melontarkan Naga Halilintar! Blar! Ledakan yang sangat dahsyat disusul angin menerbangkan debu-debu dan daun pohon sawo.    
  Maharani masih kokoh sementara mahadewi meloncat mundur. Dua kibasan tangannya mengandung energi angin yang sangat besar. Sejenak kemudian suasana menjadi sepi. Kaki Maharani melesak ke tanah sementara Mahadewi berdiri dengan kepala berasap. Maharani tersenyum, dalam hati dia memuji Mahadewi yang berhasil memadukan Jurus kembang selatan dan Naga Halilintar dengan padu. Maharani juga terkejut dengan cara Mahadewi memadukan dua jurus yang sebenarnya bertolak belakang. Maharani yang semula bisa memperkirakan akhir pertempuran tidak mau salah. Mahadewi yang masih muda sanggup mengeluarkan naga halilintar disela-sela jurus Kembang Selatan bukanlah lawan yang mudah. Kali ini Maharani sudah kembali bersiap dengan tangan kanan yang terangkat lurus ke atas. Persiapan Naga Halilintar. Maharani tidak melihat celah untuk mengalahkan Mahadewi dengan cara lain. Mahadewi bisa memindahkan dua tenaga untuk menahan serangan susuh angin sekaligus menggempur Perisai Bumi. Maharani belum pernah menemui lawan setangguh Mahadewi.
Melihat itu mahadewi juga tersenyum dan segera memasang kuda-kuda. Persiapan Perisai Bumi. Mahadewi sudah mengeluarkan dua jurus puncak yang dia kuasai dan Panglima negeri selatan itu masih berdiri dengan segar. Ksatria manapun akan sulit menahan Naga Halilintar berpadu dengan Susuh Angin. Keduanya bersiap sambil tersenyum. Senyum Maharani dan Mahadewi dalam keadaan biasa adalah senyum yang menyejukkan namun kali ini adalah senyum yang akan mengundang Dewa kematian. Para ksatria hanya menghela nafas. Naga halilintar dan Perisai Bumi adalah dua jurus puncak yang harus dikuasai siapa saja yang mengaku sebagai Ksatria Negeri Selatan. Hari ini mereka akan melihat benturan itu sekali lagi. Tiba-tiba selarik sinar biru melesat ke tengah pertempuran. Ksatria Pedang langit sudah berada di tengah pertempuran dengan pedang biru yang keluar dari sarungnya. Pedang yang tiba-tiba menerbitkan pelangi mengelilingi tubuh Ksatria pedang langit.
“Mohon maaf pada semua ksatria, walaupun pertempuran pringgitan tidak boleh dihentikan, hari ini, Ksatria pedang langit akan menghentikannya. Biarkan pedang langit menanggung dosa kelancangan ini. Rasanya di saat hati sedang sedih merasakan sakit Maharaja, saya tidak akan kuat bisa menahan kepedihan hati kehilangan maharani atau mahadewi.”
Air mata Ksatria Pedang langit menetesi pedang yang di bawanya. Tiba-tiba hawa dingin menyeruak. Itulah reaksi pedang mustika yang bernama pedang langit. Pedang indah yang hanya sesekali keluar dari sarungnya. Pedang kedamaian mengeluarkan aura kesedihan.
“Pedang langit! Jangan cengeng! Ksatria adalah orang yang bisa menahan beban hatinya! Mundurlah dan sarungkan pedangmu”
Mahadewi sengaja menggunakan tenaga dalam karena tanpa itu sangat sulit untuk mengeluarkan suara dalam balutan aura kesedihan pedang langit. Rahang Mahadewi terkatup menahan dingin. (bersambung)

KABAR DARI BUBAT DAN KAIN JAYABAYA (habis)


“kakang .. “
Mahadewi Sekar Kinanthi menyebut lirih kakaknya yang sudah menghilang 5 purnama. Melihat Mahadewi Sekar kinanthi mulai meneteskan airmata, begawan Candra Wisesa mengangkat tangannya dan kain putih yang terbentang kembali tergulung dan kembali ke tangan begawan candra wisesa.
“Maafkan saya, mahadewi”
“Begawan tidak salah”
“Dengan membeberkan kain ini berarti saya sudah memberikan sebuah bayangan yang belum tentu benar. Indera yang bernama Mata, adalah indra yang sangat tergantung dengan cahaya. Kita tidak bisa melihat tanpa cahaya. Mahadewi tidak usah bersedih karena Pangeran Astaning Jagad adalah pangeran yang sudah tergaris akan membuat banyak sejarah di tanah jawa.”
“Apa maksud begawan?”
“Pangeran Astaning Jagad adalah orang yang akan menunjukkan pada kita sebuah kebijaksanaan. Kita tidak perlu khawatir padanya, karena justru kita yang sedang dia khawatirkan”
Tampak mata Mahadewi menatap pasewakan dengan tajam. Maharani Puspintandaru menundukan kepalanya. Pasewakan ini sekali lagi diliputi oleh keheningan. Tiba-tiba Mahadewi berdiri.
“Maharani, tolong kirim salah satu dari bunga merah untuk berada di pantai pacitan.”
“Untuk apa mahadewi?”
Maharani menjawab dengan sangat cepat. Jawaban yang sangat tidak sangka oleh siapapun di pasewakan hari ini.
“Sejak kapan orang yang duduk di Tahta ditanya perintahnya?”
Maharani Puspitandaru kali ini tidak menundukkan kepalanya. Dia menatap Mahadewi dengan sangat tajam.
“Maharani melawan perintahku?”
“Maafkan saya Mahadewi. Yang berhak memerintah saya hanyalah Maharaja Kaweningan, Mahadewi”
Kali pasewakan berubah menjadi sangat panas. Tiba-tiba saja Maharani menebarkan aura kemarahan yang sangat panas. Para begawan mengambil nafas dalam-dalam. Mahadewi masih menatap tajam Maharani. Kali ini dia tidak bisa lagi mengendalikan emosinya. Mahadewi berdiri.
“Aku tunggu di Pringgitan!”
Mahadewi berjalan keluar dari paseban. Semua orang tahu, Pringgitan adalah sebuah tempat yang sudah menelan banyak nyawa. Disanalah dua orang ksatria akan bertempur sampai salah satu kehilangan nyawanya. Maharani tampak tidak terkejut dengan reaksi Dewi Sekar Kinanthi. Maharani berdiri dan menyusul Dewi Sekar Kinanthi. Selendang biru yang sejak tadi melayang-layang di halaman segera menuju maharani. Maharani mengacungkan tangan kirinya dan sekejap Maharani sudah melayang bersama selendang biru yang dikenal orang sebagai Selendang Susuh Angin. Para ksatria dan begawan bergegas menyusul keduanya. Semuanya tampak khawatir, demikian juga para begawan. Pertempuran Mahadewi dan Maharani adalah pertempuran yang akan membawa sebuah akibat yang dahsyat. Semua orang tahu keduanya adalah ksatria murid dewan begawan.
Dalam etika negeri selatan, seorang begawan hanya mempunyai seorang murid dan harus diumumkan ke seluruh negeri dan diketahui oleh raja. Negeri ini telah belajar dari negeri-negeri di pulau jawa yang sudah berlumuran darah karena tidak bijaknya sang guru saat mengajar banyak murid. Dewan begawan adalah begawan-begawan dengan ilmu tertinggi sehingga murid-muridnya adalah murid yang mewarisi ilmu tertinggi. Maharani adalah murid begawan Tirto Geni sedangkan Mahadewi adalah murid begawan Puspa Ratri. Dua begawan yang sangat disegani, Tirto Geni adalah Begawan Alam, kekuatan inti ilmunya adalah kekuatan alam, angin, air, api dan semua unsur alam lainnya. Pusparatri adalah begawan Hati, Inti ilmunya adalah kebijaksanaan. kebijaksanaan adalah kunci pembuka bagi semua kekuatan, siapapun yang ingin mengendalikan semua kekuatan haruslah mempunyai kunci kebijaksanaan. Dan sebentar lagi akan ada benturan dua ilmu yang sangat dahsyat. (bersambung ke chapter berikutnya)

Senin, 02 Januari 2012

KABAR DARI BUBAT DAN KAIN JAYABAYA (lanjutan)


Pelabuhan itu tampak ramai dengan kapal yang sedang bongkar muat. Tampak  Dewi Sekar Kinanthi sedang bercakap-cakap dengan beberapa pedagang. Para pedagang tampak tidak berani menatap wajah Dewi Sekar Kinanthi.
"Hey, gadis cantik, tanyalah padaku, jangan bertanya pada orang-orang tolol ini" tiba-tiba Taring Hiu yang sedang menurunkan barang dari kapal meloncat ikut bergabung dengan para pedagang.
"Apa yang ingin kamu ketahui ?"
Tampak Taring Hiu berjalan mendekati Sri Dewi.
"Aku ingin bertanya tentang Pangeran Astaning Jagad, kamu tahu?"
"Kenapa kamu ingin tahu tentang Pangeran Astaning Jagad?"
"Karena dia kakakku"
Tampak Taring Hiu tersenyum sinis, beberapa pedagang tampak cemas.
"Tidak ada alasan lain? aku tahu sekali tentang keluarga kerajaan selatan ini dan kamu bukan salah satunya. Sudahlah, katakan siapa kamu sebenarnya?"
"Kamu tahu atau tidak tentang kakang Astaning Jagad?"
Dewi Sekar Kinanthi masih tersenyum.
"Aku tahu, tapi sebelumnya aku ingin kamu jujur dan tidak usah mengaku sebagai adik pangeran.”
Dewi Sekar Kinanthi hanya memandang Taring hiu dengan tersenyum. Taring Hiu tampak jengah dengan pandangan Dewi Sekar Kinanthi. Taring Hiu merasakan wibawa gadis ini sangat besar.
“Mmm baiklah aku beritahu. Pangeran Astaning Jagad sudah terkubur di Bubat beberapa minggu lalu"
"Darimana kamu tahu?"
"Kamu tidak berhak untuk tahu, karena yang berhak tahu pertama kali adalah Maharaja Kaweningan .. "
Belum sempat Taring Hiu menyelesaikan kalimatnya Dewi Sekar Kinanthi mengibaskan tangan kanannya dan bersamaan dengan itu Taring Hiu sudah terkapar dengan wajah berlumuran darah. Hidungnya patah, bibirnya pecah, dan pipinya tampak tergores. 4 anak buah taring hiu segera bertindak mengepung Dewi Sekar Kinanthi namun tiba-tiba tanpa ada seorangpun yang tahu 6 Ksatria Tameng Mutiara sudah mengelilingi Sri Dewi Kinanthi.
"Bawa, pemuda itu ke istana"
Dewi Sekar menunjuk ke arah Taring Hiu kemudian sekali loncat sudah berada dipunggung kuda yang berada sepuluh langkah dibelakangnya. Melihat itu 4 anak buah Taring Hiu surut dan perlahan mundur.

***

Maharani Puspintandaru tertawa keras mendengar cerita Taring Hiu. Para ksatria juga terlihat tersenyum.
"Apa kamu pikir kamu pantas mendapatkan seorang perempuan?"
"Hamba maharani. Hamba memang tidak pantas"
"Taring Hiu! katakan tentang Pangeran Astaning Jagad"
"Hamba maharani. Hamba hanya mendengar dari pedagang majapahit bahwa pernikahan baginda Hayam Wuruk dan Putri Citraresmi Dyah Pitaloka tidak berlangsung karena telah terjadi perang. Pasukan Bayangkari mahapatih Gajah mada telah menewaskan semua orang yang ada dalam rombongan Padjajaran termasuk maharaja Linggabuana"
"Lalu pangeran Astaning Jagad?"
"Pangeran Astaning Jagad diajak Maharaja Linggabuana untuk ikut dalam rombongan, hamba tahu sendiri karena saat itu hamba bertemu pangeran di pantai popoh dan mengantar Pangeran hingga padjajaran. Hamba berpisah saat pangeran ikut rombongan Padjajaran. Kedatangan hamba selain mengantar ikan layur juga ingin melaporkan ini kepada Maharaja Kaweningan"
Tampak semua orang yang ada di pasewakan terkejut mendengar laporan Taring Hiu.
"Hamba tidak tahu kalau mahadewi adalah adik Pangeran"
"Tidakkah kamu lihat kecantikannya?"
"Hamba bodoh maharani"
"Bawa Taring Hiu keluar dari pasewakan ini"
Dewi  Sekar Kinanthi tiba-tiba berdiri dan menyuruh Ksatria Tameng Mutiara untuk membawa Taring Hiu pergi.
"Mahadewi tidak perlu percaya pada orang bodoh seperti Taring Hiu"
"Tapi aku tetap khawatir Maharani"
"Saya pernah bentrok dengan Bhayangkari Majapahit saat diutus Maharaja. Dan saya tidak melihat Bhayangkari adalah pasukan yang kuat. Seandainya Pangeran juga bentrok, saya yakin pangeran akan sangat mudah mengatasinya"
"Jika Gajahmada turun, aku kira situasinya akan lain maharani"
Semua orang memusatkan perhatian pada Begawan Pusparatri, Begawan yang  terkenal karena pengetahuannya yang luas.
"Gajahmada sendirian bisa membuat pemberontak Kuti harus tunggang langgang. Saat itu dia sedang menyelamatkan baginda Jayanegara dari para pemberontak yang bisa menduduki ibukota. Gajah mada adalah ksatria sekaligus begawan"
"Demikian juga pangeran Astaning Jagad. Dia adalah begawan muda dari istana"
"Maharani, orang ini adalah orang yang telah bersumpah palapa dihadapan baginda Hayam Wuruk. Saat itu aku juga berada di Air terjun madakaripura bersama Mpu Prapanca. Aku melihat Air terjun itu berhenti saat pengucapan sumpah"
Semua yang hadir tampak memperhatikan Begawan Pusparatri. Begawan yang terlihat lebih muda dari umurnya. Begawan ini masih sangat cantik diumur yang sudah menginjak 60 tahun. Begawan Pusparatri adalah satu-satunya begawan perempuan di negeri itu. Memecahkan tradisi yang sudah ada. Sebutan begawan hanya untuk laki-laki namun Pusparatri diwisuda dengan sebutan begawan. Begawan Pusparatri saat mudanya adalah kekasih mpu Prapanca, Pujangga terkenal majapahit. Pusparatri buta sejak lahir namun penglihatan batinnya melebihi siapapun.
"Saat itu aku juga bertemu dengan Sungging Prabangkara yang sedang melukis air terjun madakaripura. Sungging berkata bahwa 30 tahun setelah ini akan ada perang yang sangat dahsyat di seluruh nusantara. Dan setelah itu perang akan mewarnai seluruh nusantara."
"Begawan, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk membicarakan ramalan seorang pelukis .."
Ksatria pedang langit unjuk bicara. Ksatria pedang langit adalah seorang ksatria yang tidak suka membicarakan hal-hal yang ada di luar negerinya. Kecintaannya pada negeri selatan sangat luar biasa. 
"Sungging Prabangkara bukanlah seorang pelukis biasa. Dia melukis Citraresmi Dyah Pitaloka hanya berdasarkan mimpinya. Maharaja Linggabuana dibuat terpesona karena memang Sungging tidak pernah bertemu dengan Citraresmi."
Ksatria Pedang Langit menundukkan kepalanya tanda minta maaf.
"Aku tahu kamu tidak suka dengan isi pembicaraanku pedang langit. Aku hanya ingin menceritakan, apa yang ada di luar negeri kita adalah berhubungan dengan negeri kita juga."
"Begawan Pusparatri benar. Majapahit adalah negeri yang penuh dengan darah sejak Ken Arok mendirikan Singosari. Negeri yang juga dihuni oleh ksatria-ksatria pinilih. Sejak eyang Mpu Sindok memindahkan kerajaan ke timur, saat itu pula eyang-eyang kita memilih untuk diam di kepulauan ini. Kita adalah keturunan 9 Dewa Gunung. Dewa yang memilih untuk diam dalam kedamaian. Eyang Samaratungga membangun borobudur sebagai peringatan bagi kita bahwa sejak lahir manusia tidak lagi berada dalam kedamaian. Untuk itulah jika saudara-saudara kita di pulau jawa tidak menemukan kedamaian, kita wajib membantu mereka menemukan kedamaian. Lahir batin”
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Begawan Candra Wisesa kemudian berdiri dan membentangkan kain putih bujur sangkar berukuran setengah meter. Begawan Candra Wisesa melepas kain yang sudah terbentang itu. Kain itu mengambang di udara. Semua yang hadir di pasewakan tampak tegang menunggu yang terjadi. Baru sekali ini begawan yang lebih dikenal sebagai pujangga ini memperlihatkan kesaktiannya. Banyak orang tidak tahu bahwa begawan Candra Wisesa mempunyai kesaktian yang tinggi.
“Kain ini adalah kain Baginda Jayabaya. Kain yang bisa memperlihatkan masa depan ataupun masa lalu. Kain ini tidak berguna untuk seorang manusia yang berjuang untuk masa depannya. Kain ini bukan segalanya. Bukan kebenaran. Apa yang akan kalian saksikan setelah ini bukanlah kebenaran. Gusti tidak akan merubah nasib seorang manusia jika manusia itu tidak berjuang merubahnya. Kain ini adalah kain harapan. Jika kita terbuai oleh harapan kita akan berusaha membuktikan harapan itu benar. Dan itu adalah hal yang sangat berbahaya. Simpanlah yang baik sebagai doa dan harapan, buanglah yang tercela untuk menjadi semangat perubahan ke arah yang lebih baik.”
Pasewakan itu menjadi sangat hening. Seluruh ksatria tampak terbawa oleh wibawa Begawan Candra Wisesa. Begawan Candra Wisesa adalah seorang begawan yang sangat santun dalam perkataan dan rendah hati. Ketika Maharaja kaweningan melantik begawan Candra Wisesa menjadi Dewan Begawan banyak ksatria yang tidak setuju. Selain Begawan Candra Wisesa tidak pernah dikenal mempunyai kesaktian, begawan Candra Wisesa adalah begawan baru, namun karena pembawaan Begawan Candra Wisesa yang sangat santun dan pandai dalam sastra akhirnya para ksatria mengakui bahwa keputusan maharaja tepat. 
Semua orang yang ada dalam pasewakan hari ini tercekat lidahnya saat kain putih yang terbentang memperlihatkan sebuah pembantaian. Terlihat Pangeran Astaning Jagad juga ikut bertempur. (bersambung)

Minggu, 01 Januari 2012

KABAR DARI BUBAT DAN KAIN JAYABAYA (Lanjutan)


Sementara itu di perbatasan kota raja, debu mengepul dari hentakan kaki kuda yang sedang berlari kencang. Tampak Dewi Sekar Kinanthi menunggang kuda dengan wajah penuh airmata. Agak jauh dibelakangnya tampak 6 orang dengan tameng bergambar 7 mutiara sedang menyeret seorang pemuda yang wajahnya sudah bersimbah darah. 6 orang ini sangat tenang, inilah para Ksatria Tameng Mutiara. Ksatria yang bertugas menjaga ketentraman kota raja. Dua jam yang lalu mereka berhadapan dengan kawanan perampok yang berjuluk Taring Hiu. Dan pemuda yang bersimbah darah itu adalah Taring hiu, seorang pendekar dari pantai Popoh Jawa.
Dewi Sekar Kinanthi, sebuah nama yang akan dikaitkan dengan kecantikan yang sulit dicari bandingannya. Saat kelahirannya ditandai dengan mekarnya seluruh bunga di gunung kembang selatan, tempat begawan Pusparatri berada. Dikemudian hari Dewi Sekar Kinanthi menjadi satu-satunya murid begawan Pusparatri. Tidak heran jika kesaktian Dewi Sekar Kinanthi berkembang dengan sangat pesat. Melampaui banyak ksatria yang terhitung merupakan seniornya.
Kuda Dewi Sekar Kinanthi melesat memasuki pelataran istana, beberapa ksatria yang berjaga langsung membungkukan badan saat mengetahui yang memasuki istana adalah Dewi Sekar Kinanthi. Pasewakan itu tampak terkejut saat kuda Dewi Sekar Kinanthi berhenti tepat di tengah halaman. Anak-anak yang sedang bermain dengan selendang milik Maharani Puspitandaru dan manusia daun buatan begawan Mula Alam ikut minggir. Dewi Sekar Kinanthi turun sambil melepas kondenya, rambutnya yang tebal dan lurus segera terlepas indah. Dewi Sekar Kinanthi memasuki pasewakan, semua orang yang ada segera berdiri dan memberi hormat. Dewi Sekar Kinanthi memberi isyarat menerima penghormatan mereka. Dewi Sekar Kinanthi duduk di Tahta. Dewi Sekar Kinanthi mengedarkan pandangan matanya di seluruh ksatria dan begawan yang hadir. Pandangan mata yang sebenarnya ingin menumpahkan segala kesedihan.
"Mahadewi tampak sedih"
Maharani Puspitandaru berkata sambil menundukan mukanya. Dewi Sekar Kinanthi tidak menjawab. Pandangannya lurus ke depan menanti Ksatria Tameng Mutiara datang.
"Maafkan saya Mahadewi. Ada kejadian apa yang menyebabkan airmata mahadewi harus  membasahi wajah cantik mahadewi?"
Maharani Puspitandaru mencoba meminta jawaban dari Dewi Sekar Kinanthi.
"Kakang Astaning Jagad terlibat pertempuran dengan Majapahit"
Jawaban ini membuat semua orang yang ada di pasewakan menjadi sangat tegang. Semua ksatria yang hadir tahu, bertempur dengan majapahit adalah persoalan yang sangat besar. Sejak pelantikan Gadjah mada menjadi mahapatih di air terjun madakaripura, Maharaja Kaweningan terhitung telah mengirim utusan sebanyak 4 kali. Maharaja Kaweningan bersama Maharaja Linggabuana dari Padjajaran mengajukan sebuah usulan hidup berdampingan secara damai. Namun semua itu tampaknya sia-sia karena Sumpah Palapa Gajahmada tidak bisa dicabut lagi.
"Seminggu yang lalu pedagang Tuban mengabarkan bahwa kakang Astaning Jagad terlihat bersama Pangeran Wastu Kancana menaiki kapal yang sedang bertolak menuju Malaka. Dan hari ini, aku bertemu dengan pemuda ini, yang mengabarkan bahwa kakang Astaning Jagad tewas di Bubat"
Taring Hiu duduk bersimpuh tidak berdaya, sementara 6 ksatria Tameng Mutiara masih berada dibelakangnya. Maharani berdiri.
"Mohon ijin untuk memeriksa"
Dewi Sekar Kinanthi mengangguk. Maharani kemudian mendekati Taring Hiu.
"Hmm Taring Hiu, pendekar pantai Popoh yang terkenal"
Ternyata Maharani sudah mengenalinya.
"Saya tidak berbuat keonaran Maharani. Saya datang untuk mengantarkan ikan layur yang dipesan Maharaja 9 bulan yang lalu"
Taring Hiu tampak takut. Taring Hiu memang sangat takut dengan Maharani. Tepat setahun lalu Taring Hiu bertarung dengan Maharani. Pertarungan yang hanya berlangsung satu kedip mata. Taring hiu harus mengakui kesaktian Maharani Puspitandaru. Saat itu Taring Hiu mengacau di Pelabuhan dan membuat Petugas keamanan pelabuhan terluka. Dan tepat di saat yang bersamaan Maharani sedang berjalan-jalan di pelabuhan bersama anaknya. Hari naas Taring Hiu.
"Apakah kamu tidak mengenali Mahadewi ?"
"Tidak Maharani"
"Bodoh !"

KABAR DARI BUBAT DAN KAIN JAYABAYA


Suasana pasewakan hari ini sepi. Kesepian yang sudah berlangsung sepanjang 7 purnama. Memang tidak terlalu sepi, karena anak-anak masih bermain dengan gembira di halaman. Namun canda dan tawa anak-anak itu tidak mampu memecah keheningan yang ada dalam hati ksatria yang hadir. Mereka menghadap tahta yang kosong. Mereka sedang menunggu Dewi Sekar Kinanthi, putri maharaja yang didaulat untuk memegang tahta selama maharaja sakit. Dewi Sekar Kinanthi baru menempati tahta 3 purnama, sebelumnya tahta dipercayakan pada pangeran Astaning Jagad, putra tertua maharaja yang diperintahkan maharaja untuk mencari obat ke pulau jawa.
Hari ini, Para ksatria dan begawan tampak hening menunggu kedatangan Dewi Sekar Kinanthi. Namun keheningan ini hanya tampak di pasewakan, didalam benak para ksatria sangat riuh dengan kecemasan dan kegelisahan akan kondisi Maharaja. Ksatria Pedang Langit terlihat paling gelisah diantara ksatria yang hadir dalam pasewakan ini. Beberapa kali dia menyentuh pedang yang dipangkunya. Pedang berwarna biru yang sangat jarang keluar dari sarungnya. Pedang Kedamaian, julukan lain dari senjata mustika negeri selatan ini. Pedang yang tidak pernah minta darah, pedang yang tidak pernah melukai. Wibawa pedang langit selalu menimbulkan ketenangan walaupun pada dasarnya itu adalah senjata. Istana Negeri Selatan memang membolehkan ksatria menghadap maharaja dengan membawa senjatanya. Negeri selatan adalah sebuah negeri yang sangat menghormati nilai-nilai satria yang menjunjung kejujuran.
Kegelisahan pedang langit rupanya diketahui juga oleh ksatria bunga merah. Ksatria rupawan yang menjalankan tugas telik sandi dan selalu berada di belakang layar. Tidak bersenjata, senjatanya adalah selendang bunga merah, sebuah selendang yang penuh daya sirep karena konon sudah tercelupkan dengan semua bunga yang berwarna merah di atas jagad. Ksatria bunga merah memberikan isyarat supaya tenang, ksatria pedang langit hanya menganggukan kepalanya.
Ksatria adalah julukan bagi semua prajurit negeri selatan. Pedang langit atau bunga merah adalah nama kesatuan. Yang duduk dalam pasewakan ini adalah kepala kesatuan. Mereka duduk berjajar di belakang Maharani Puspitandaru. Seorang wanita pilih tanding yang merupakan Wakil panglima Panahaning Bumi. Sementara di depan mereka terpisah dua tombak telah duduk 4 orang. 4 orang ini adalah dewan begawan. Paling kanan adalah begawan Mula Alam dan berturut-turut ke kiri adalah begawan Tirto Geni, Begawan Pusparatri dan Begawan Candra Wisesa. Para begawan hanya tersenyum melihat kegelisahan para ksatria. Tampaknya mereka tahu bahwa pasewakan hari ini akan terjadi sesuatu.
Tiba-tiba saja Maharani Puspitandaru berdiri dan melepas selendang biru yang terikat dipinggangnya. Selendang biru itu kemudian sudah melayang mengitari anak-anak yang sedang berlari-lari di halaman.
"Waaaah"
Seru anak-anak. Mereka mencoba menangkap selendang tersebut. Selendang itu bernama Susuh Angin, selendang yang dipercaya sebagai jelmaan dari Naga Angin.  Maharani Puspitandaru tersenyum melihat tingkah anak-anak yang mencoba menangkap selendang tersebut. Selendang berwarna biru itu adalah selendang yang tidak semua orang bisa memegangnya. Hanya orang-orang tertentu yang bisa memegangnya.
Melihat selendang susuh angin menari-nari bersama anak-anak, Begawan Mula Alam tersenyum kemudian mengangkat tangannya, sekejap kemudian daun-daun kering berkumpul dan membentuk tubuh manusia.
"Waaah, manusia daun !"
Seru anak-anak semakin girang. Manusia daun itu berlari mengejar anak-anak. Anak-anak menjerit dan berlarian kesana kemari. Begawan Mula Alam adalah ketua dewan begawan. Dia adalah satu-satunya begawan alam yang tersisa. Begawan yang sangat mencintai alam dan mendapatkan kekuatan dari alam. Konon Begawan Mula alam masa mudanya sudah mati dalam sebuah pertempuran namun hidup lagi karena kedalaman ilmunya.
"Sudah lama kita tidak menghibur anak-anak itu"
Begawan Mula Alam terkekeh memecah keheningan. Matanya bulat jenaka mengawasi anak-anak yang berkejaran dengan manusia daun ciptaannya.
"Benar begawan, bagaimanapun juga, kesedihan kita tidak boleh kita bagi pada anak-anak"
Maharani Puspintadaru kembali ke tempat duduknya sambil terus mengawasi susuh angin dari jauh. Namun percakapan keduanya tidak bisa memancing pasewakan hari ini terlepas dari kesunyiannya. Ksatria pedang langit, ksatria tameng mutiara, ksatria pemanah dan ksatria bunga merah masih tampak gelisah. Begawan Candra Wisesa dan Begawan Tirto Geni sedikitpun tidak tersenyum. Atraksi dari Maharani dan Begawan Mula Alam, bagi orang biasa adalah sebuah kesaktian yang sulit dicari bandingannya. Namun atraksi itu adalah kesaktian yang biasa-biasa saja bagi para ksatria dan begawan. Dan mungkin jika ada kesaktian yang bisa memindahkan gunung tidak akan bisa mengusik kesedihan mereka akan sakitnya maharaja. Demikianlah kesedihan yang tergambar dari sakitnya Maharaja Kaweningan. Maharaja yang sangat dicintai oleh rakyatnya. Rakyat yang sebagian besar adalah ksatria. Pasewakan yang biasanya dihiasi oleh diskusi dan canda tawa sudah hilang sepanjang 7 purnama. (bersambung)