Selasa, 03 Januari 2012

DUA KSATRIA, DUA POHON KEMATIAN


  Pringgitan adalah tempat dua pohon sawo kecik saling berhadapan. Konon Usia dua pohon sawo itu sudah ratusan tahun. Rindang dua pohon itu memendam puluhan nyawa ksatria. Dua pohon yang sangat asri ini berjuluk pohon kematian. Julukan yang bertentangan dengan wujud aslinya.
Dewi Sekar Kinanthi memilih berada di pohon sisi barat. Wajah cantiknya tampak tenang tampak siap menyambut pertempuran sampai mati. Maharani Puspitandaru sudah mengikat perutnya dengan selendang birunya berada di kerindangan pohon sawo sisi timur.
“Maharani, Aku tidak suka melihat ksatria yang tidak sesuai antara hati dan perkataannya. Aku duduk di tahta bukanlah kemauanku tetapi karena ayahanda dan kakanda sedang tidak ada. Semua orang sudah setuju untuk mematuhi semua perintahku. Termasuk dirimu. Yang aku perangi adalah sikapmu yang tidak ksatria”
“Hamba mohon maaf mahadewi, perintah dari raja bagi ksatria adalah perintah, itu benar. Tetapi sebuah perintah pengiriman pasukan masih kewenangan Maharaja Kaweningan. Demikian pesan dari Panglima Panahaning Bumi. Dan hamba harus menjaga perintah panglima.”
Maharani berkata dengan tegas. Ketegasan prinsip yang membuat Mahadewi terdiam. Dia tampak ragu dengan perkataan Maharani yang terhitung sangat senior dibanding dirinya. Walaupun sekarang dia adalah penguasa puncak, hati kecilnya sangat menghormati Maharani.
“Karena kita berdua sudah di bawah pohon kematian, tidak ada yang bisa mencegah. Salah satu dari kita harus ada yang mati. Majulah Dewi  Sekar Kinanthi”
Kata-kata Maharani sangat tegas. Dengan menyebut mahadewi dengan namanya langsung, maharani ingin menghapus keraguan Dewi sekar Kinanthi. Keraguan yang tidak boleh ada dalam dada ksatria. Dewi Sekar Kinanthi tersenyum dan langsung mengangkat tangan kanannya lurus ke atas sementara tangan kirinya lurus menghadap ke bawah. Semua ksatria tercekat, itu adalah persiapan jurus kembang Selatan. Dengan tubuh yang lurus, jurus ini ingin menjadi tangkai dari semua kembang. Sebagai pusat aliran tenaga dari daun menuju akar ataupun akar menuju daun. Maharani sangat paham akan kedahsyatan jurus ini. jurus yang dapat mengeluarkan berbagai tenaga yang tidak terduga. Dia pun langsung melepas selendangnya. Selendang itu langsung mengitari tubuhnya. Maharani memilih diam menunggu. Begawan Pusparatri dan begawan Tirto Geni tampak tenang menunggu dua muridnya beradu ilmu. Tidak nampak kekhawatiran sedikitpun.
Tiba-tiba tubuh Mahadewi melayang menerjang ke arah Maharani. Dengan posisi yang masih lurus namun kaki kanannya menekuk, tubuh mahadewi sangat terbuka untuk di serang. Maharani dengan cepat memasang kuda-kuda ke samping. Itulah Perisai Bumi. Maharani memilih untuk bertahan karena pertahanan terbuka mahadewi adalah sebuah jebakan. Jurus kembang selatan adalah jurus yang tidak mudah di tebak. Para ksatria memuji maharani sekaligus tercekat membayangkan apa yang akan terjadi. Di awal-awal pertempuran Maharani sudah mengeluarkan perisai bumi, jurus pertahanan puncak para ksatria. Tangan kanan Mahadewi yang lurus mengayun ke arah depan seperti membelah sesuatu di sambut selendang susuh angin yang melesat lepas dari tubuh maharani, desiran angin langsung menerpa wajah para ksatria yang menonton saat tangan kanan mahadewi beradu dengan selendang. Selendang susuh angin berkelebat seperti naga kembali pada maharani sementara mahadewi terus menerjang, kali ini tangan kirinya mengayun dari bawah ke atas, maharani menyorongkan dua tangannya menyambut serangan itu. Duarrr! Ledakan besar terjadi saat kibasan jurus kembang selatan menerjang pertahanan perisai bumi. Selanjutnya tanpa jeda mahadewi menyusulnya dengan pukulan kanan kiri dengan cepat. Beberapa kilatan cahaya menerjang tubuh maharani. Maharani hanya menggerakkan dua tangan seperti menari menepis kilatan cahaya. Para ksatria terperangah, mahadewi mengeluarkan naga halilintar, jurus penyerangan puncak negeri selatan. Walaupun naga halilintar dalam sebuah situasi hanya akan menghasilkan satu kilatan yang disusul halilintar namun kali ini para ksatria disuguhi bagaimana naga halilintar terpecah-pecah. Maharani yang sudah memasang perisai bumi tampak kerepotan dengan serangan naga halilintar yang terpecah dalam bentuk kecil-kecil namun sangat cepat dan tidak memberi kesempatan untuk menyerang.
Begawan Tirto Geni dan Begawan Pusparatri tampak menghela nafas. Tidak heran dua begawan ini menghela nafas. Perpaduan dua jurus antara kembang selatan dan naga halilintar diperagakan dengan baik oleh mahadewi namun dalam hal memadukan dua jurus, jurus lambaran atau jurus dasar harus menjadi pengatur dan itu tidak terjadi pada mahadewi. Jurus kembang selatan tiba-tiba bercampur dan menjadi Naga halilintar. Arus Tenaga jurus kembang selatan adalah arus bolak-balik, kasar menjadi halus dan halus menjadi kasar. Sementara Naga Halilintar adalah jurus naga yang searah. Maharani yang sudah sangat matang dalam penguasaan tenaga juga menyadari hal ini. Maharani tersenyum, dia merasa bisa memastikan akhir pertempuran ini. Segera setelah itu dua putaran tangannya menyapu pukulan yang datang bertubi-tubi, susuh angin melesat keluar dari kepungan dan menyerang mahadewi dari belakang. Mahadewi memutar tubuhnya dan merentangkan kedua tangannya. Tangan kiri menyambut selendang susuh angin dan tangan kanan melontarkan Naga Halilintar! Blar! Ledakan yang sangat dahsyat disusul angin menerbangkan debu-debu dan daun pohon sawo.    
  Maharani masih kokoh sementara mahadewi meloncat mundur. Dua kibasan tangannya mengandung energi angin yang sangat besar. Sejenak kemudian suasana menjadi sepi. Kaki Maharani melesak ke tanah sementara Mahadewi berdiri dengan kepala berasap. Maharani tersenyum, dalam hati dia memuji Mahadewi yang berhasil memadukan Jurus kembang selatan dan Naga Halilintar dengan padu. Maharani juga terkejut dengan cara Mahadewi memadukan dua jurus yang sebenarnya bertolak belakang. Maharani yang semula bisa memperkirakan akhir pertempuran tidak mau salah. Mahadewi yang masih muda sanggup mengeluarkan naga halilintar disela-sela jurus Kembang Selatan bukanlah lawan yang mudah. Kali ini Maharani sudah kembali bersiap dengan tangan kanan yang terangkat lurus ke atas. Persiapan Naga Halilintar. Maharani tidak melihat celah untuk mengalahkan Mahadewi dengan cara lain. Mahadewi bisa memindahkan dua tenaga untuk menahan serangan susuh angin sekaligus menggempur Perisai Bumi. Maharani belum pernah menemui lawan setangguh Mahadewi.
Melihat itu mahadewi juga tersenyum dan segera memasang kuda-kuda. Persiapan Perisai Bumi. Mahadewi sudah mengeluarkan dua jurus puncak yang dia kuasai dan Panglima negeri selatan itu masih berdiri dengan segar. Ksatria manapun akan sulit menahan Naga Halilintar berpadu dengan Susuh Angin. Keduanya bersiap sambil tersenyum. Senyum Maharani dan Mahadewi dalam keadaan biasa adalah senyum yang menyejukkan namun kali ini adalah senyum yang akan mengundang Dewa kematian. Para ksatria hanya menghela nafas. Naga halilintar dan Perisai Bumi adalah dua jurus puncak yang harus dikuasai siapa saja yang mengaku sebagai Ksatria Negeri Selatan. Hari ini mereka akan melihat benturan itu sekali lagi. Tiba-tiba selarik sinar biru melesat ke tengah pertempuran. Ksatria Pedang langit sudah berada di tengah pertempuran dengan pedang biru yang keluar dari sarungnya. Pedang yang tiba-tiba menerbitkan pelangi mengelilingi tubuh Ksatria pedang langit.
“Mohon maaf pada semua ksatria, walaupun pertempuran pringgitan tidak boleh dihentikan, hari ini, Ksatria pedang langit akan menghentikannya. Biarkan pedang langit menanggung dosa kelancangan ini. Rasanya di saat hati sedang sedih merasakan sakit Maharaja, saya tidak akan kuat bisa menahan kepedihan hati kehilangan maharani atau mahadewi.”
Air mata Ksatria Pedang langit menetesi pedang yang di bawanya. Tiba-tiba hawa dingin menyeruak. Itulah reaksi pedang mustika yang bernama pedang langit. Pedang indah yang hanya sesekali keluar dari sarungnya. Pedang kedamaian mengeluarkan aura kesedihan.
“Pedang langit! Jangan cengeng! Ksatria adalah orang yang bisa menahan beban hatinya! Mundurlah dan sarungkan pedangmu”
Mahadewi sengaja menggunakan tenaga dalam karena tanpa itu sangat sulit untuk mengeluarkan suara dalam balutan aura kesedihan pedang langit. Rahang Mahadewi terkatup menahan dingin. (bersambung)